PENGETAHUAN TINGKAT V

Posted by Unknown Minggu, 21 Juli 2013 0 komentar
Kita telah menyelesaikan perdebatan dalam wilayah pengetahuan tingkat IV. Jika manusia telah memperoleh pengetahuan tingkat IV, apakah manusia masih membutuhkan pengetahuan yang lebih tinggi lagi? Dengan kata lain, apakah manusia masih memerlukan pengetahuan tingkat V? Jawabnya ternyata bisa ya, bisa tidak. Mengapa?

Jika manusia, khususnya kalangan ilmuwan tetap besikukuh dengan metode ilmiahnya, maka pengetahuannya hanya akan terhenti pada pengetahuan tingkat IV saja. Mengapa? Sebab, sebagaimana telah dibahas pada sub-bab sebelum ini, kemampuan metode ilmiah dalam menjawab hakikat manusia, alam dan kehidupan ini akan berhenti pada jawaban: Pencipta itu tidak ada, yang ada hanya materi. Materi itu bersifat azali atau kekal.

Hal itu akan sangat berbeda jika manusia mau menggunakan metode aqliyah, sehingga bisa memperoleh pengetahuan tingkat IV, yaitu: Pencipta pasti ada. Apa konsekuensi yang membedakan dengan jawaban sebelumnya? Sebagaimana telah disinggung dalam sub-bab sebelum ini, jika jawabannya adalah Pencipta pasti ada, maka akan menimbulkan pertanyaan turunan.

Pertanyaan turunannya adalah: apa sesungguhnya tujuan Pencipta menciptakan manusia, alam semesta dan kehidupan ini? Pertanyaan ini tentu akan muncul dari benak manusia. Manusia tentu sangat memerlukan jawaban yang nilainya pasti benar. Kebutuhan akan jawaban tentang hakikat tujuan Pencipta menciptakan kehidupan inilah yang disebut dengan pengetahuan tingkat V. Sebuah tingkatan pengetahuan yang tidak pernah diperlakukan oleh kalangan ilmuwan.
Untuk mengetahui apa tujuan Pencipta menciptakan manusia, alam semesta dan kehidupan ini, maka ada tiga kemungkinan yang dapat difikirkan manusia, yaitu:
  1. Manusia harus menemui Pencipta untuk mempertanyakannya.
  2. Pencipta yang akan memberi informasi kepada manusia.
  3. Pencipta tidak memberikan informasi kepada manusai.


Dari ketiga kemungkinan di atas, maka menurut akal manusia kemungkinan kedua-lah yang dapat diterima akal. Kemungkinan pertama tidak bisa dilakukan manusia, karena manusia tidak tahu dimana posisi Pencipta berada. Kemungkinan ketiga juga tidak mungkin, karena Sang Pencipta tentu memiliki tujuan tertentu dalam menciptakan semua ini. Tidak mungkin dengan hasil penciptaan yang luar biasa besar dan hebatnya ini, Pencipta tidak memiliki maksud apa-apa, tidak ada tujuan sama sekali.

Oleh karena itu, fokus yang harus dilakukan akal manusia adalah mencari informasi dari Pencipta. Fakta yang ada di lapangan menunjukkan bahwa informasi dari Pencipta, yang biasa disebut sebagai “Kitab Suci” itu ternyata ada banyak, tidak hanya satu. Inilah yang menyebabkan agama-agama di dunia ini jumlahnya juga banyak.

Dengan demikian, tugas akal berikutnya adalah mencari dan meneliti Kitab Suci yang dapat dipastikan kebenarannya berasal dari Pencipta. Dengan menggunakan metode apa? Tentu tetap menggunakan metode aqliyah, bukan metode ilmiah. Kitab Suci apa yang kita teliti? Seharusnya memang semua Kitab Suci kita teliti, apakah benar dari Pencipta atau hanya buatan manusia, kemudian “diproklamirkan” sebagai kitab suci yang berasal dari Pencipta.

Karena bab ini kita hendak membuktikan secara ilmiah terhadap Sistem Ekenomi Islam, maka kita harus meneliti sumber Kitab Suci yang digunakan oleh Islam. Sumber Kitab Suci itu adalah Al-Qur’an. Dengan demikian, sekarang kita harus meneliti secara ilmiah, dengan menggunakan metode aqliyah untuk membuktikan apakah Al-Qur’an itu benar-benar dari Pencipta atau tidak.
Sebagaimana penjelasan metode aqliyah yangg telah digunakan di atas, maka dengan metode yang sama kita akan melakukan penelitian terhadap Al-Qur’an. Untuk mengetahui apakah Al-Qur’an itu berasal dari Pencipta atau tidak, maka ini masuk dalam kategori pengetahuan tingkat II, yaitu mencari kebenaran terhadap obyek yang ghaib.

Sebagaimana penjelasan di atas, untuk memikirkan obyek yang ghaib, akal harus mencari dalil. Dalam hal ini dalilnya adalah Al-Qur’an itu sendiri. Nah, tugas akal sekarang adalah mengamati Al-Qur’an itu sebagai dalil. Marilah kita amati, menurut akal kita apa yang bersifat pasti benar dari Al-Qur’an itu?

Jika seluruh akal manusia mau mengamati Al-Qur’an, maka kesimpulan yang nilainya pasti benar adalah Al-Qur’an itu kitab yang pasti berbahasa arab. Dengan bahasa arab yang jelas dan khas. Tidak ada satu-pun akal manusia yang meragukan kebenaran tersebut, baik dari segi bahasa maupun gaya-nya.

Selanjutnya, jika Al-Qur’an itu adalah kitab yang pasti berbahasa arab, maka menurut akal manusia, ada 3 kemungkinan yang akan menjadi pemikiran manusia terhadap fakta Al-Qur’an tersebut, yaitu (An-Nabhani, 1953):
  1. Al-Qur’an itu kitab karangan Bangsa Arab.
  2. Al-Qur’an itu kitab karangan Muhammad.
  3. Al-Qur’an itu kitab yang berasal dari Pencipta.

Mengapa kemungkinannya hanya tiga? Tiga kemungkinan itu memang merupakan kesimpulan dari akal manusia terhadap fakta Al-Qur’an yang pasti berbahasa arab tersebut. Tidak ada kemungkinan lain, misalnya kemungkinan karangan Bangsa Inggris, Bangsa Rusia, Bangsa Melayu dsb. Mengapa? Karena bangsa-bangsa tersebut tidak bisa berbahasa arab. Selanjutnya, mengapa harus ada nama Muhammad? Sebab yang menyampaikan kitab tersebut adalah orang yang bernama Muhammad.

Setelah kita memahami mengapa yang muncul adalah tiga kemungkinan tersebut, tibalah saatnya bagi kita untuk memeriksa satu persatu tiga kemungkinan tersebut.

1. Karangan Bangsa Arab
Mungkinkah Al-Qur’an itu karangan Bangsa Arab? Jawabnya tentu harus kita kembalikan kepada Bangsa Arab, yaitu ketika Al-Qur’an menantang kepada seluruh orang Arab untuk membuat yang serupa dengan Al-Qur’an. Sebagaimana tertera dalam ayat:



“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar” (QS. Al-Baqarah: 23)


“Bahkan mereka mengatakan” “Muhammad telah membuat-buat Al-Qur’an itu”, Katakanlah: “Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggilah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar” (QS. Huud: 13)


“Atau (patutkah) mereka mengatakan: “Muhammad membuat-buatnya.” Katakanlah:”(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar” (QS. Yunus: 38)

Dengan adanya tantangan tersebut, orang-orang Arab telah berusaha keras untuk mencoba, menjawabnya dengan membuat yang serupa dengan Al-Qur’an. Namun, semakin mereka berusaha, maka semakin nyata ketidakmampuannya. Mengapa? Karena, orang-orang Arab sendiri-lah yang akan mencemooh dan menertawakannya. Apa yang telah mereka upayakan untuk membuatnya, selalu saja masih terlalu jauh dari menyerupai Al-Qur’an.

Hal ini dapat dijadikan kesimpulan bahwa Al-Qur’an itu bukan karangan mereka dan bukan juga perkataan mereka. Mereka tidak pernah mampu untuk membuat karya yang serupa dengan Al-Qur’an.

2. Karangan Muhammad
Kemungkinan  yang kedua adalah Al-Qur’an itu karangan Muhammad SAW. Kemungkinan kedua ini juga tidak dapat diterima oleh akal. Sebab, Muhammad SAW juga bangsa Arab. Bagaimanapun jeniusnya Muhammad SAW, ia teaplah manusia yang menjadi salah satu dari anggota Bangsa Arab juga.

Jika seluruh Bangsa Arab, baik secara individual maupun secara berjamaah tidak mampu membuat karya yang serupa dengan Al-Qur’an, maka masuk akal juga jika Muhammad SAW juga tidak mampu membuat karya yang serupa. Dengan demikian, jelas Al-Qur’an itu bukan karangannya.

Argumen itu masih dapat ditambah dengan banyaknya Hadits-Hadits shahih yang berasal dari Muhammad SAW yang diriwayatkan secara tawatur (perawinya banyak), yang kebenarannya tidak dapat diragukan lagi. Apabila setiap Hadits dibandingkan dengan Al-Qur’an, maka tidak akan dijumpai kemiripan sama sekali dari segi uslub-nya (gaya bahasanya)

Padahal Muhammad SAW disamping selalu menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’an, dalam waktu yang bersamaan dia juga menyampaikan Hadits. Ternyata keduanya tetap berbeda dari segi gaya bahasanya. Bagaimanapun kerasnya usaha seseorang untuk menciptakan berbagai macam gaya bahasa dalam pembicaraan sehari-harinya, tetap saja akan ada kemiripan antara gaya yang satu dengan gaya yang lain, karena merupakan ciri khasnya dalam berbicara.

Dengan demikian, karena tidak ada kemiripan sama sekali antara gaya bahasa Al-Qur’an dan Hadits, maka akal manusia dapat menyimpulkan bahwa Al-Qur’an itu bukan karangan Muhammad SAW. Itulah sebabnya, mengapa tidak satupun dari Bangsa Arab (terutama yang paling tahu gaya dan sastra Arab) pernah menuduh bahwa Al-Qur’an itu perkataan Muhammad SAW atau mengatakan bahwa Al-Qur’an ada kemiripan gaya bahasanya.

Ada tuduhan lain yang ditujukan kepada Muhammad SAW, yaitu menganggap bahwa Al-Qur’an itu dijiplak dan direkayasa dari Injil oleh Muhammad SAW dari pemuda Nasrani ynag bernama Jabr. Tuduhan ini langsung dibantah oleh Al-Qur’an, melalui ayat:

“Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: “Sesungguhnya Al-Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)”. Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa ‘Ajam, sedang Al-Qur’an adalah dalam bahasa Arab yang terang” (QS. An-Nahl: 103)

Dari penjelasan Al-Qur’an tersebut kita dapat mengetahui bahwa Jabr ternyata bukan Bangsa Arab (orang ‘ajam). Jika Jabr bukan orang Arab, bagaimana Muhamamad SAW dapat belajar Kitab Injil darinya? Padahal untuk berkomunikasi saja tidak bisa, karena mereka berdua tidak bisa berkomunikasi dan tidak bisa saling memahami bahasanya.

Argumen lain yang dapat dijadikan tambahan adalah kenyataan bahwa Muhammad SAW adalah orang yang ummi, yaitu orang yang tida dapat membaca dan menulis. Jika Muhammad SAW membaca dan menulis saja tidak bisa, bagaimana mungkin dia dapat mengarang sebuah buku yang sangat tebal, yang isinya langsung dapat mengalahkan dan menundukkan semua pakar-pakar bahasa dan sastra dari kalangan Bangsa Arab? Hal ini tentu adalah sesuatu yang tidak masuk akal.

Berkaitan dengan Muhammad SAW yang ummi tersebut dinyatakan dalam Al-Qur’an, yaitu dalam ayat:
“Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitt Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (ynag berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk” (Al-A’raf: 158)

Dengan demikian, dika akal manusia sudah dapat memastikan bahwa Al-Qur’an itu bukan karangan Bangsa Arab dan juga bukan karangan Muhammad SAW, maka tinggallah satu yang tersisa, yaitu bahwa Al-Qur’an itu pasti benar berasal dari Pencipta yang bernama Allah SWT. Al-Qur’an tersebut telah diturunkan kepada utusannya, yang bernama Muhammad SAW.

Jika Al-Qur’an telah terbukti secara pasti berasal dari Allah SWT, maka tibalah saatnya bagi manusia untuk menjawab pertanyaan turunan di atas, yaitu: apa tujuan Allah SWT menciptakan alam semesta, manusia dan kehidupan ini? Bagaimana cara menjawabnya? Tentu saja dengan cara membuka informasi yang berasal dari Allah SWT, yaitu Al-Qur’an. Selamat membuka!

Dengan membuka Al-Qur’an, maka manusia akan memperoleh pengetahuan tingkat V, yaitu pengetahuan yang akan memberi penjelasan kepada manusia tentang hakikat segala sesuatu yang ada di alam ini, khususnya yang berkaitan dengan hakikat dari tujuan penciptaan manusia.

Apabila manusia mengkaji Al-Qur’an beserta penjelasannya yang berasal dari Al-Hadits, maka manusia akan mengetahui misi utama diciptakannya manusia untuk hidup di muka bumi ini. Misi tersebut tidak lain adalah unutk menjadi abdullah (penyembah Allah) dan khalifatullah (wakil Allah) di muka bumi ini. Misi utama manusia tersebut telah tertuang dalam Al-Qur’an, yaitu:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَـٰٓٮِٕكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ۬ فِى ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةً۬‌ۖ

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (QS. Al-Baqarah: 30)

Setelah manusia memahami bahwa tujuan utama Allah SWT menciptakan manusia adalah untuk menjadi abdullah dan khalifatullah, maka yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah: bagaimana manusia dapat dikatakan sebagai abdullah dan khalifatullah yang benar?

Jawabnya adalah, manusia wajib terikat dengan Syari’at Islam yang telah diturunkan Allah SWT melalui Al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya. Selanjutnya, Syari’at Islam itu mencakup apa saja? Jawabnya dapat diringkaskan dalam tiga dimensi Syari’at Islam sebagai berikut:

1. Dimensi Satu
Dimensi satu adalah Syari’at Islam yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT secara langsung. Syari’at Islam yang masuk dimensi satu ini meliputi:
a. ‘Aqoid
b. Ibadah

2. Dimensi Dua
Dimensi dua adalah Syari’at Islam yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Syari’at Islam yang masuk dimensi dua ini meliputi:
a. Makanan
b. Minuman
c. Pakaian
d. Akhlaq

3. Dimensi Tiga
Dimensi tiga adalah Syari’at Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dalam bermasyarakat dan bernegara. Syari’at Islam yang masuk dimensi tiga ini meliputi:
a. Sistem Pemerintahan Islam
b. Sistem Ekonomi Islam
c. Sistem Sosial Islam
d. Sistem Pidana Islam
e. Sistem Pendidikan Islam
f. Sistem Luar Negeri Islam

Syari’at Islam yang telah tertuang dalam tiga dimensi di atas itulah yang dapat kita sebut sebagai pengetahuan tingkat V. Dari uraian global dari pengetahuan tingkat V di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa yang disebut pengetahuan tingkat V adalah pengetahuan tentang gambaran pengaturan kehidupan manusia di atas muka bumi ini, secara utuh dan menyeluruh.

Gambaran sistem kehidupan yang utuh dan menyeluruh dari Islam inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Nidzom Islam (Sistem Kehidupan Islam). Itulah pengetahuan tingkat V yang sesungguhnya. Tingkatan pengetahuan yang tidak ada dalam ranah ilmiah menurut kalangan ilmuwan saat ini.

Selanjutnya, jika kita mau memperhatikan Nidzom Islam dalam tiga dimensi di atas, maka kita dapat mengetahui bahwa Sistem Ekonomi Islam ternyata masuk dalam dimensi yang ketiga. Sesungguhnya Sistem Ekonomi Islam itu dapat dikategorikan sebagai pengetahuan tingkat V, menurut urutan pengetahuan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sebuah pengetahuan yang sangat tinggi menurut kategori tingkatan berfikir manusia.

Dengan selesainya uraian di atas, berarti selesai juga penjelasan tentang pengetahuan tingkat V ini. Pertanyaan berikutnya adalah: apakah manusia masih membutuhkan pengetahuan yang lebih tinggi lagi? Jawabnya adalah: masih! Berarti manusia masih membutuhkan pengetahuan tingkat VI.Pengetahuan apa itu? Marilah kita ikuti penjelasannya dalam sub-bab di bawah ini.

Sumber:
Ekonomi Islam Madzhab HAMFARA

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: PENGETAHUAN TINGKAT V
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://avathuroba.blogspot.com/2013/07/pengetahuan-tingkat-V.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

trikmudahseo.blogspot.com support www.evafashionstore.com - Original design by Bamz | Copyright of aVathuroba.