Cara Merampingkan Alexa Rank dengan Cepat

Posted by Unknown Senin, 05 Agustus 2013 0 komentar

Cara merampingkan Alexa Rank dengan cepat banyak ditanyakan oleh para blogger. Ada yang online hampir setahun, alexanya masih di atas 5 juta, dan ada juga yang online 2 minggu alexanya tembus 500 ribu. Jika anda adalah pelaku bisnis online, maka peringkat alexa rank ini sangat penting karena menyangkut tingkat kepercayaan blog. Kalaupun anda cuma blogger biasa, alexa rank ini bisa memberi nilai komersil pada blog anda jika semakin ramping.

Perlu saudara ketahui bahwa perhitungan Alexa Rank itu masih didasarkan pada Alexa Toolbar yang dipakai pada browser internet di seluruh dunia. Alexa mengandalkan input data dari semua toolbarnya untuk menghitung pageview dan pengunjung unik suatu blog. Jadi untuk merampingkan alexa rank blog anda dengan cepat cukup dengan menggunakan toolbar alexa pada browser internet anda.

Kalau anda memakai Alexa toolbar pada browser dan online membuka blog setiap hari, cukup 2-3 minggu untuk membuat blog saudara masuk ke lapisan ranking di bawah 1 juta. Jadi sangat rugi jika anda tidak memasang Alexa toolbar pada browser anda. Berikut ini adalah cara memasang Alexa Toolbar pada browser Mozilla dan Google Chrome....

Memasang Alexa Toolbar Ke Firefox

  1. Buka halaman Alexa Toolbar dan klik tombol Install Alexa Toolbar
  2. Tombol Install Alexa Toolbar
  3. Akan terbuka halaman User License Agreement. Klik Accept dan Install
  4. Firefox akan melakukan konfirmasi, silahkan klik Allow
  5. Pemberitahuan FireFox
  6. Tunggu proses download selesai, akan muncul jendela baru dan klik Install
  7. Install Ads Ons
  8. Setelah selesai penginstalan, anda akan diminta untuk melakukan restart
  9. Restart Firefox
  10. Setelah restart akan ada laman The Alexa Toolbar for Firefox - Demographic Information, silahkan klik tombol No Thanks
  11. Akan terbuka halaman yang berisikan ucapan selamat : Alexa Toolbar - Installation Successful! The Alexa toolbar is now installed in your browser and should look like this:
  12. Jika muncul pemberitahuan seperti di bawah, silahkan klik OK.
Konten Toolbar


Memasang Alexa Toolbar Ke Google Chrome

  1. Kunjungi web http://www.alexa.com/toolbar 
  2. Klik tombol "Install Alexa Extension"
  3. Klik tombol "+ Add to Chrome" lalu Klik "Add"
  4. Tunggu hingga proses download selesai, dan akan muncul halaman baru
  5. Klik "Accept and Enable"
  6. Anda akan diminta untuk mengisi beberapa data, jika tidak bersedia silahkan klik "No, Thank's"
  7. Nantinya Alexa Toolbar akan muncul pada browser saudara Google Chrome saudara di bagian kanan atas.
Sekarang Alexa toolbar sudah terinstall pada browser anda. Silahkan mengakses blog anda setiap hari untuk merampingkan alexa rank blog anda dengan cepat.

Sumber : trikmudahseo.blogspot.com

Baca Selengkapnya ....

PENGETAHUAN TINGKAT VI

Posted by Unknown Senin, 22 Juli 2013 0 komentar
Dari uraian di atas kita sudah memahami bahwa inti dari pengetahuan V adalah Nidzom Islam atau gambaran yang utuh dan menyeluruh tentang pengaturan kehidupan manusia menurut Sang Pencipta alam semesta ini. Tugas manusia adalah mengupayakan terwujudnya aturan Syari’at Islam tersebut.

Lantas, dimana kebutuhan manusia akan tingkatan pengetahuan tingkat VI? Kebutuhan manusia akan pengetahuan tingkat VI baru dapat muncul ketika manusia benar-benar telah menerapkan dan mengamalkan Nidzom Islam di atas. Jika Nidzom Islam itu tidak diterapkan dan diamalkan oleh manusia, maka manusia tidak akan membutuhkan pengetahuan tingkat VI. Mengapa?

Penerapan Nidzom Islam dalam kehidupan yang nyata tentu akan memunculkan permasalahan-permasalahan yang baru, sering dengan perkembangan kehidupan manusia yang semakin kompleks. Di sisi lain, Al-Qur’an diturunkan Allah SWT dalam bnetuk panduan aturan yang bersifat global. Agar semua amal yang dilakukan manusia dapat dipertanggungjawabkan secara benar, yaitu keterikatannya dengan Syari’at Islam, maka manusia membutuhkan status hukum terhadap persoalan yang baru tersebut.

Penentuan status hukum terhadap permasalahan-permasalahan kehidupan manusia yang baru, yang status hukumnya tidak tertuang secara tekstual dalam Al-Qur’an dan Sunnah, tentu memerlukan sebuah metode tertentu. Mengapa harus dengan metode tertentu?

Metode tertentu ini diperlukan agar penentuan status hukum itu tetap tidak menyimpang dari ketentuan Al-Qur’an dan Sunnah. Penentuan status hukum ini harus dapat dipertanggungjawabkan secara “ilmiah” dihadapan Allah SWT. Nah, apa metode tersebut? Metode tersebut tidak lain adalah metode “ijtihad”.

Dengan demikian, apa yang disebut dengan pengetahuan tingkat VI itu? Pengetahuan tingkat VI tidak lain adalah produk-produk ijtihad dari para mujtahid untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan manusia yang baru, senantiasa berkembang sedemikian dinamis dan kompleksnya seperti sekarang ini (Triono, 2010).

Apa dan bagaimana metode ijtihad itu? Inilah yang akan dijelaskan secara global dan mendalam  dalam buku ini. Dengan demikian, buku ini memang ingin mengajak kepada pembaca sekalian untuk dapat mengarungi pengetahuan yang tertinggi yang mampu dicapai oleh akal pikiran manusia, yaitu pengetahuan tingkat VI.

Apakah ada pengetahuan yang lebih tinggi dari pengetahuan tingkat VI ini? Untuk sementara penulis memahami bahwa pengetahuan yang tertinggi yang mampu dicapai oleh akal manusia adalah pengetahuan VI ini. Jika ada pengetahuan yang lebih tinggi lagi, menurut penulis mungkin itu bukan pengetahuan akal atau  di luar akal manusia. Wallahu a’lam.

Sumber:
Ekonomi Islam Madzhab HAMFARA


Baca Selengkapnya ....

PENGETAHUAN TINGKAT V

Posted by Unknown Minggu, 21 Juli 2013 0 komentar
Kita telah menyelesaikan perdebatan dalam wilayah pengetahuan tingkat IV. Jika manusia telah memperoleh pengetahuan tingkat IV, apakah manusia masih membutuhkan pengetahuan yang lebih tinggi lagi? Dengan kata lain, apakah manusia masih memerlukan pengetahuan tingkat V? Jawabnya ternyata bisa ya, bisa tidak. Mengapa?

Jika manusia, khususnya kalangan ilmuwan tetap besikukuh dengan metode ilmiahnya, maka pengetahuannya hanya akan terhenti pada pengetahuan tingkat IV saja. Mengapa? Sebab, sebagaimana telah dibahas pada sub-bab sebelum ini, kemampuan metode ilmiah dalam menjawab hakikat manusia, alam dan kehidupan ini akan berhenti pada jawaban: Pencipta itu tidak ada, yang ada hanya materi. Materi itu bersifat azali atau kekal.

Hal itu akan sangat berbeda jika manusia mau menggunakan metode aqliyah, sehingga bisa memperoleh pengetahuan tingkat IV, yaitu: Pencipta pasti ada. Apa konsekuensi yang membedakan dengan jawaban sebelumnya? Sebagaimana telah disinggung dalam sub-bab sebelum ini, jika jawabannya adalah Pencipta pasti ada, maka akan menimbulkan pertanyaan turunan.

Pertanyaan turunannya adalah: apa sesungguhnya tujuan Pencipta menciptakan manusia, alam semesta dan kehidupan ini? Pertanyaan ini tentu akan muncul dari benak manusia. Manusia tentu sangat memerlukan jawaban yang nilainya pasti benar. Kebutuhan akan jawaban tentang hakikat tujuan Pencipta menciptakan kehidupan inilah yang disebut dengan pengetahuan tingkat V. Sebuah tingkatan pengetahuan yang tidak pernah diperlakukan oleh kalangan ilmuwan.
Untuk mengetahui apa tujuan Pencipta menciptakan manusia, alam semesta dan kehidupan ini, maka ada tiga kemungkinan yang dapat difikirkan manusia, yaitu:
  1. Manusia harus menemui Pencipta untuk mempertanyakannya.
  2. Pencipta yang akan memberi informasi kepada manusia.
  3. Pencipta tidak memberikan informasi kepada manusai.


Dari ketiga kemungkinan di atas, maka menurut akal manusia kemungkinan kedua-lah yang dapat diterima akal. Kemungkinan pertama tidak bisa dilakukan manusia, karena manusia tidak tahu dimana posisi Pencipta berada. Kemungkinan ketiga juga tidak mungkin, karena Sang Pencipta tentu memiliki tujuan tertentu dalam menciptakan semua ini. Tidak mungkin dengan hasil penciptaan yang luar biasa besar dan hebatnya ini, Pencipta tidak memiliki maksud apa-apa, tidak ada tujuan sama sekali.

Oleh karena itu, fokus yang harus dilakukan akal manusia adalah mencari informasi dari Pencipta. Fakta yang ada di lapangan menunjukkan bahwa informasi dari Pencipta, yang biasa disebut sebagai “Kitab Suci” itu ternyata ada banyak, tidak hanya satu. Inilah yang menyebabkan agama-agama di dunia ini jumlahnya juga banyak.

Dengan demikian, tugas akal berikutnya adalah mencari dan meneliti Kitab Suci yang dapat dipastikan kebenarannya berasal dari Pencipta. Dengan menggunakan metode apa? Tentu tetap menggunakan metode aqliyah, bukan metode ilmiah. Kitab Suci apa yang kita teliti? Seharusnya memang semua Kitab Suci kita teliti, apakah benar dari Pencipta atau hanya buatan manusia, kemudian “diproklamirkan” sebagai kitab suci yang berasal dari Pencipta.

Karena bab ini kita hendak membuktikan secara ilmiah terhadap Sistem Ekenomi Islam, maka kita harus meneliti sumber Kitab Suci yang digunakan oleh Islam. Sumber Kitab Suci itu adalah Al-Qur’an. Dengan demikian, sekarang kita harus meneliti secara ilmiah, dengan menggunakan metode aqliyah untuk membuktikan apakah Al-Qur’an itu benar-benar dari Pencipta atau tidak.
Sebagaimana penjelasan metode aqliyah yangg telah digunakan di atas, maka dengan metode yang sama kita akan melakukan penelitian terhadap Al-Qur’an. Untuk mengetahui apakah Al-Qur’an itu berasal dari Pencipta atau tidak, maka ini masuk dalam kategori pengetahuan tingkat II, yaitu mencari kebenaran terhadap obyek yang ghaib.

Sebagaimana penjelasan di atas, untuk memikirkan obyek yang ghaib, akal harus mencari dalil. Dalam hal ini dalilnya adalah Al-Qur’an itu sendiri. Nah, tugas akal sekarang adalah mengamati Al-Qur’an itu sebagai dalil. Marilah kita amati, menurut akal kita apa yang bersifat pasti benar dari Al-Qur’an itu?

Jika seluruh akal manusia mau mengamati Al-Qur’an, maka kesimpulan yang nilainya pasti benar adalah Al-Qur’an itu kitab yang pasti berbahasa arab. Dengan bahasa arab yang jelas dan khas. Tidak ada satu-pun akal manusia yang meragukan kebenaran tersebut, baik dari segi bahasa maupun gaya-nya.

Selanjutnya, jika Al-Qur’an itu adalah kitab yang pasti berbahasa arab, maka menurut akal manusia, ada 3 kemungkinan yang akan menjadi pemikiran manusia terhadap fakta Al-Qur’an tersebut, yaitu (An-Nabhani, 1953):
  1. Al-Qur’an itu kitab karangan Bangsa Arab.
  2. Al-Qur’an itu kitab karangan Muhammad.
  3. Al-Qur’an itu kitab yang berasal dari Pencipta.

Mengapa kemungkinannya hanya tiga? Tiga kemungkinan itu memang merupakan kesimpulan dari akal manusia terhadap fakta Al-Qur’an yang pasti berbahasa arab tersebut. Tidak ada kemungkinan lain, misalnya kemungkinan karangan Bangsa Inggris, Bangsa Rusia, Bangsa Melayu dsb. Mengapa? Karena bangsa-bangsa tersebut tidak bisa berbahasa arab. Selanjutnya, mengapa harus ada nama Muhammad? Sebab yang menyampaikan kitab tersebut adalah orang yang bernama Muhammad.

Setelah kita memahami mengapa yang muncul adalah tiga kemungkinan tersebut, tibalah saatnya bagi kita untuk memeriksa satu persatu tiga kemungkinan tersebut.

1. Karangan Bangsa Arab
Mungkinkah Al-Qur’an itu karangan Bangsa Arab? Jawabnya tentu harus kita kembalikan kepada Bangsa Arab, yaitu ketika Al-Qur’an menantang kepada seluruh orang Arab untuk membuat yang serupa dengan Al-Qur’an. Sebagaimana tertera dalam ayat:



“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar” (QS. Al-Baqarah: 23)


“Bahkan mereka mengatakan” “Muhammad telah membuat-buat Al-Qur’an itu”, Katakanlah: “Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggilah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar” (QS. Huud: 13)


“Atau (patutkah) mereka mengatakan: “Muhammad membuat-buatnya.” Katakanlah:”(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar” (QS. Yunus: 38)

Dengan adanya tantangan tersebut, orang-orang Arab telah berusaha keras untuk mencoba, menjawabnya dengan membuat yang serupa dengan Al-Qur’an. Namun, semakin mereka berusaha, maka semakin nyata ketidakmampuannya. Mengapa? Karena, orang-orang Arab sendiri-lah yang akan mencemooh dan menertawakannya. Apa yang telah mereka upayakan untuk membuatnya, selalu saja masih terlalu jauh dari menyerupai Al-Qur’an.

Hal ini dapat dijadikan kesimpulan bahwa Al-Qur’an itu bukan karangan mereka dan bukan juga perkataan mereka. Mereka tidak pernah mampu untuk membuat karya yang serupa dengan Al-Qur’an.

2. Karangan Muhammad
Kemungkinan  yang kedua adalah Al-Qur’an itu karangan Muhammad SAW. Kemungkinan kedua ini juga tidak dapat diterima oleh akal. Sebab, Muhammad SAW juga bangsa Arab. Bagaimanapun jeniusnya Muhammad SAW, ia teaplah manusia yang menjadi salah satu dari anggota Bangsa Arab juga.

Jika seluruh Bangsa Arab, baik secara individual maupun secara berjamaah tidak mampu membuat karya yang serupa dengan Al-Qur’an, maka masuk akal juga jika Muhammad SAW juga tidak mampu membuat karya yang serupa. Dengan demikian, jelas Al-Qur’an itu bukan karangannya.

Argumen itu masih dapat ditambah dengan banyaknya Hadits-Hadits shahih yang berasal dari Muhammad SAW yang diriwayatkan secara tawatur (perawinya banyak), yang kebenarannya tidak dapat diragukan lagi. Apabila setiap Hadits dibandingkan dengan Al-Qur’an, maka tidak akan dijumpai kemiripan sama sekali dari segi uslub-nya (gaya bahasanya)

Padahal Muhammad SAW disamping selalu menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’an, dalam waktu yang bersamaan dia juga menyampaikan Hadits. Ternyata keduanya tetap berbeda dari segi gaya bahasanya. Bagaimanapun kerasnya usaha seseorang untuk menciptakan berbagai macam gaya bahasa dalam pembicaraan sehari-harinya, tetap saja akan ada kemiripan antara gaya yang satu dengan gaya yang lain, karena merupakan ciri khasnya dalam berbicara.

Dengan demikian, karena tidak ada kemiripan sama sekali antara gaya bahasa Al-Qur’an dan Hadits, maka akal manusia dapat menyimpulkan bahwa Al-Qur’an itu bukan karangan Muhammad SAW. Itulah sebabnya, mengapa tidak satupun dari Bangsa Arab (terutama yang paling tahu gaya dan sastra Arab) pernah menuduh bahwa Al-Qur’an itu perkataan Muhammad SAW atau mengatakan bahwa Al-Qur’an ada kemiripan gaya bahasanya.

Ada tuduhan lain yang ditujukan kepada Muhammad SAW, yaitu menganggap bahwa Al-Qur’an itu dijiplak dan direkayasa dari Injil oleh Muhammad SAW dari pemuda Nasrani ynag bernama Jabr. Tuduhan ini langsung dibantah oleh Al-Qur’an, melalui ayat:

“Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: “Sesungguhnya Al-Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)”. Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa ‘Ajam, sedang Al-Qur’an adalah dalam bahasa Arab yang terang” (QS. An-Nahl: 103)

Dari penjelasan Al-Qur’an tersebut kita dapat mengetahui bahwa Jabr ternyata bukan Bangsa Arab (orang ‘ajam). Jika Jabr bukan orang Arab, bagaimana Muhamamad SAW dapat belajar Kitab Injil darinya? Padahal untuk berkomunikasi saja tidak bisa, karena mereka berdua tidak bisa berkomunikasi dan tidak bisa saling memahami bahasanya.

Argumen lain yang dapat dijadikan tambahan adalah kenyataan bahwa Muhammad SAW adalah orang yang ummi, yaitu orang yang tida dapat membaca dan menulis. Jika Muhammad SAW membaca dan menulis saja tidak bisa, bagaimana mungkin dia dapat mengarang sebuah buku yang sangat tebal, yang isinya langsung dapat mengalahkan dan menundukkan semua pakar-pakar bahasa dan sastra dari kalangan Bangsa Arab? Hal ini tentu adalah sesuatu yang tidak masuk akal.

Berkaitan dengan Muhammad SAW yang ummi tersebut dinyatakan dalam Al-Qur’an, yaitu dalam ayat:
“Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitt Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (ynag berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk” (Al-A’raf: 158)

Dengan demikian, dika akal manusia sudah dapat memastikan bahwa Al-Qur’an itu bukan karangan Bangsa Arab dan juga bukan karangan Muhammad SAW, maka tinggallah satu yang tersisa, yaitu bahwa Al-Qur’an itu pasti benar berasal dari Pencipta yang bernama Allah SWT. Al-Qur’an tersebut telah diturunkan kepada utusannya, yang bernama Muhammad SAW.

Jika Al-Qur’an telah terbukti secara pasti berasal dari Allah SWT, maka tibalah saatnya bagi manusia untuk menjawab pertanyaan turunan di atas, yaitu: apa tujuan Allah SWT menciptakan alam semesta, manusia dan kehidupan ini? Bagaimana cara menjawabnya? Tentu saja dengan cara membuka informasi yang berasal dari Allah SWT, yaitu Al-Qur’an. Selamat membuka!

Dengan membuka Al-Qur’an, maka manusia akan memperoleh pengetahuan tingkat V, yaitu pengetahuan yang akan memberi penjelasan kepada manusia tentang hakikat segala sesuatu yang ada di alam ini, khususnya yang berkaitan dengan hakikat dari tujuan penciptaan manusia.

Apabila manusia mengkaji Al-Qur’an beserta penjelasannya yang berasal dari Al-Hadits, maka manusia akan mengetahui misi utama diciptakannya manusia untuk hidup di muka bumi ini. Misi tersebut tidak lain adalah unutk menjadi abdullah (penyembah Allah) dan khalifatullah (wakil Allah) di muka bumi ini. Misi utama manusia tersebut telah tertuang dalam Al-Qur’an, yaitu:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَـٰٓٮِٕكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ۬ فِى ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةً۬‌ۖ

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (QS. Al-Baqarah: 30)

Setelah manusia memahami bahwa tujuan utama Allah SWT menciptakan manusia adalah untuk menjadi abdullah dan khalifatullah, maka yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah: bagaimana manusia dapat dikatakan sebagai abdullah dan khalifatullah yang benar?

Jawabnya adalah, manusia wajib terikat dengan Syari’at Islam yang telah diturunkan Allah SWT melalui Al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya. Selanjutnya, Syari’at Islam itu mencakup apa saja? Jawabnya dapat diringkaskan dalam tiga dimensi Syari’at Islam sebagai berikut:

1. Dimensi Satu
Dimensi satu adalah Syari’at Islam yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT secara langsung. Syari’at Islam yang masuk dimensi satu ini meliputi:
a. ‘Aqoid
b. Ibadah

2. Dimensi Dua
Dimensi dua adalah Syari’at Islam yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Syari’at Islam yang masuk dimensi dua ini meliputi:
a. Makanan
b. Minuman
c. Pakaian
d. Akhlaq

3. Dimensi Tiga
Dimensi tiga adalah Syari’at Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dalam bermasyarakat dan bernegara. Syari’at Islam yang masuk dimensi tiga ini meliputi:
a. Sistem Pemerintahan Islam
b. Sistem Ekonomi Islam
c. Sistem Sosial Islam
d. Sistem Pidana Islam
e. Sistem Pendidikan Islam
f. Sistem Luar Negeri Islam

Syari’at Islam yang telah tertuang dalam tiga dimensi di atas itulah yang dapat kita sebut sebagai pengetahuan tingkat V. Dari uraian global dari pengetahuan tingkat V di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa yang disebut pengetahuan tingkat V adalah pengetahuan tentang gambaran pengaturan kehidupan manusia di atas muka bumi ini, secara utuh dan menyeluruh.

Gambaran sistem kehidupan yang utuh dan menyeluruh dari Islam inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Nidzom Islam (Sistem Kehidupan Islam). Itulah pengetahuan tingkat V yang sesungguhnya. Tingkatan pengetahuan yang tidak ada dalam ranah ilmiah menurut kalangan ilmuwan saat ini.

Selanjutnya, jika kita mau memperhatikan Nidzom Islam dalam tiga dimensi di atas, maka kita dapat mengetahui bahwa Sistem Ekonomi Islam ternyata masuk dalam dimensi yang ketiga. Sesungguhnya Sistem Ekonomi Islam itu dapat dikategorikan sebagai pengetahuan tingkat V, menurut urutan pengetahuan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sebuah pengetahuan yang sangat tinggi menurut kategori tingkatan berfikir manusia.

Dengan selesainya uraian di atas, berarti selesai juga penjelasan tentang pengetahuan tingkat V ini. Pertanyaan berikutnya adalah: apakah manusia masih membutuhkan pengetahuan yang lebih tinggi lagi? Jawabnya adalah: masih! Berarti manusia masih membutuhkan pengetahuan tingkat VI.Pengetahuan apa itu? Marilah kita ikuti penjelasannya dalam sub-bab di bawah ini.

Sumber:
Ekonomi Islam Madzhab HAMFARA


Baca Selengkapnya ....

METODE ILMIAH VERSUS METODE AQLIYAH

Posted by Unknown Sabtu, 20 Juli 2013 0 komentar

Setelah kita menyimak uraian terakhir dari sub-bab di atas, maka kita dapat mempertanyakan kembali posisi Islam dalam kancah ilmu pengetahuan saat ini. Lebih khusus lagi tentu saja adalah posisi dari Sistem Ekonomi Islam, yang tengah kita perbincangkan ini, apakah bisa diterima dalam ranah ilmiah atau tidak?

Untuk dapat menjawabnya, yang menjadi pertauhan adalah menyangkut metode yang digunakan itu sendiri. Benarkah klaim dari para ilmuwan sekarang ini bahwa yang disebut “kebenaran” itu hanya dapat dihasilkan dari satu proses saja, yaitu hanya dengan metode ilmiah saja? Inilah yang sehausnya kita gugat dan kita pertanyakan kembali.

Inilah saatnya bagi kita untuk menjawabnya. Walaupun nampaknya sangat berat untuk melawan hegemoni dari dunia ilmiah ini, namun bukan berarti hal itu tidak bisa kita lakukan. Walaupun produk ilmiah saat ini telah mencengkeram dunia dengan berbagai kemajuan teknologi yang telah dicapainya, bukan berarti kita hanya bisa diam saja.

Apalagi sekarang ini sudah muncul sebuah anggapan bahwa siapapun enggan untuk memasuki dunia ilmiah ini, pasti akan tergusur dari percaturan peradaban manusia. Dia akan menjadi manusia terbelakang dan akan hilang dari peredaran kehidupan ini. Anggapan-anggapan inilah yang seharusnya kita hilangkan dari dalam benak kita.

Nah, sekarang marilah kita mulai memasuki area pertarungan ini. Ketika para ilmuwan berusaha untuk “memaksakan” metode ilmiah sebagai satu-satunya metode yang dianggap abash untuk meraik kebenaran, sesungguhnya hal itu merupakan langkah mundur manusia dari khazanah ilmu pengetahuan manusia.

Mengapa? Sebagaimana telah disinggung di atas, metode ilmiah sesungguhnya hanya merupakan salah satu cabang dari metode aqliyah. Metode ilmiah memang memiliki keunggulan, terutama kemampuan dalam mengungkap fenomena alam maupun dalam poses untuk menghasilkan tekologi. Namun demikian, metode ilmiah sesungguhnya memiliki banyak kelemahan. Apa kelemahan dari metode ilmiah ini?

Sebagaimana telah diuraikan di atas, keunggulan dari metode ilmiah ini adalah untuk kepentingan riset atau penelitian yang obyeknya bisa diuji dalam skala laboratorium. Sedangkan untuk obyek-obyek penelitian yang tidak bisa diuji dalam skala laboratorium, maka penggunaan metode ilmiah ini tentu akan sangat lemah. Sehingga kesimpulan ilmiah yang dihasilkan tentu akan sangat lemah, jauh dari kebenaran yang bersifat pasti (Athiyat, 1988).

Misalnya untuk penelitian yang obyeknya adalah fenomena sosial kemanusiaan dan sosial kemasyarakatan, maka penggunaan metode ilmiah adalah langkah yang terlalu dipaksakan. Sebab, fenomena sosial tidak bisa dibuat skala laboratoriumnya. Sedangkan penggunaan metode matematika sesungguhnya akan “mengebiri” fenomena kehidupan sosial itu sendiri. Fenomena sosial adalah fenomena yang sangat kompleks dan dinamis, sehingga sangat tidak layak jika harus diberangus dengan hanya sekedar model matematika.

Terlebih lagi untuk pengetahuan tingkat IV, yaitu yang  berkaitan dengan obyek alam semesta dalam skala “mako kosmos”, maupun yang berkaitan dengan obyek yang bersifat “supra natural”. Tentu penggunaan metode ilmiah ini juga akan banyak mengandung kelemahan, untuk diharapkan bisa menghasilkan produk ilmiah yang bernilai pasti benar.

Apa yang seharusnya digunakan oleh manusia untuk melakukan pengkajian dan penelitian terhadap obyek-obyek seperti di atas? Jawabnya adalah: manusia seharusnya menggunakan metode aqliyah, bukan metode ilmiah. Mengapa? Dengan metode aqliyah inilah kebenaran yang besifat pasti akan bisa diraih oleh manusia. Sekaligus, kita juga dapat mengoreksi kesalahan dari kesimpulan-kesimpulan ilmiah produk metode ilmiah tersebut.

Apa contohnya? Contohnya adalah Teori Big Bang. Dengan menggunakan metode aqliyah, sesungguhnya dengan mudah kita dapat menggugat keilmiahannya. Misalnya, ketika teori ini mengatakan bahwa proses asal-muasal kejadian alam semesta ini berasal dari sekumpulan kabut (debu) di alam raya ini, yang kemudian mengalami perputaran dengan kecepatan yang sangat tinggi, sehingga terjadilah ledakan yang maha dahsyat. Jika teori ini dianggap teori asal-muasal alam semesta, dengan hanya menggunakan ada dua pertanyaan saja, maka teori ini akan dapat gugur dengan sendirinya. Pertanyaan tersebut adalah:

  1. Jika teori ini dianggap sebagai teori asal-muasal alam semesta, pertanyaannya: darimana asal-muasal debu yang di alam raya tesebut? Mengapa tiba-tiba sudah ada debu? Jika tidak dapat menjawabnya, apakah teori ini layak dianggap sebagai teori asal-muasal alam semesta.
  2. Selanjutnya, mengapa sekumpulan debu yang semula diam itu tiba-tiba bergerak, berputar, bahkan sampai pada perputaan dengan kecepatan yang sangat tinggi, sehingga menimbulkan ledakan yang sangat besar. Pertanyaannya: siapa yang menggerakkan sekumpulan debu tersebut? Energi yang begitu besar dan maha dahsyat itu sendiri berasal dari mana? Mengapa sekumpulan debu yang semula diam terus-menerus itu kemudian tiba-tiba berputar? Apakah tidak ada penyebabnya? Jika ilmuwan tidak bisa menjawab apa penyebabnya, maka teori ini tidak layak untuk dikatakan sebagai teori yang masuk akal.


Demikianlah, hanya dengan menggunakan metode aqliyah yang sederhana saja sudah cukup untuk menumbangkan Teori Big Bang ini. Penggunaan metode aqliyah ini tidak perlu menggunakan eksperimen ilmiah dalam skala laboratorium. Sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa Teori Big Bang adalah teori yang terlalu dipaksakan oleh para ilmuwan. Kita patut mencurigai, bisa jadi ada sebuah agenda tersembunyi dari para ilmuwan dalam membangun teori ini. Apa agendanya? Agendanya tidak lain adalah agar keberadaan Tuhan itu bisa hilang dari kancah perbincangan ilmiah.

Demikian juga untuk Teori Darwin. Apakah penemuan fosil kuda dari beberapa lapisan permukaan bumi ini bisa disimpulkan sebagai urutan evolusi dari kuda secara pasti? Menurut metode aqliyah sebagaimana diuraikan di atas, jawabnya adalah: mungkin saja benar, namun mungkin juga bisa salah (jaiz aqli). Mengapa?

Sebab, menurut akal manusia, mungkin saja fosil-fosil itu adalah binatang yang berbeda-beda, bukan hanya satu jenis binatang kuda yang terus-menerus mengalami proses evolusi. Mungkin saja pernah ada kuda yang memiliki kaki seperti jari manusia yang pernah hidup di zaman tertentu dan ada pada lapis bumi tertentu, kemudian punah. Zaman berikutnya ada hewan lain yang memiliki kaki dengan beberapa bentuk jari  yang memang lebih pendek, yang hidup pada lapis bumi di atasnya, kemudian punah. Demikian seterusnya.

Dengan demikian, menurut metode aqliyah, nilai kebenaran teori Darwin sangat lemah, tidak bisa untuk dikatakan sebagai teori yang pasti benar. Seharusnya teori yang sangat lemah ini tidak dengan mudahnya digunakan untuk “menyerang” keberadaan Tuhan dalam menciptakan bermacam-macam jenis dan bentuk makhluk, termasuk juga peran Tuhan dalam penciptaan manusia.

Bagaimana dengan Hukum Kekekalan Materi dan Energi, yang kerap digunakan oleh para ilmuwan untuk menolak keberadaan Sang Pencipta, termasuk terjadinya Hari Kiamat? Untuk menggugurkan hukum ini sesungguhnya juga sangat mudah. Jika manusia dapat menyimpulkan secara pasti (dengan metode aqliyah), bahwa Tuhan itu pasti ada, maka hukum kekekalan materi dan energy itu hanya berlaku untuk manusia atau antar materi yang ada di alam semesta ini saja. Hukum ini tentu tidak berlaku untuk Tuhan, Sang Maha Pencipta. Mengapa?

Tidak berlakunya hukum itu bagi Tuhan, adalah karena Tuhan adalah Sang Pencipta dari alam semesta ini. Bagi Tuhan, untuk menciptakan materi dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada, adalah sangat mudah, berapapun materi yang Dia mau. Termasuk juga untuk memusnahkan materi tersebut, sebagian maupun seluruhnya, maka hal itu adalah sangat mudah bagi Tuhan.

Dengan demikian, yang menjadi tantangan sekarang ini adalah: mampukah manusia membuktikan adanya Tuhan (pengetahuan tingkat IV) dengan menggunakan metode aqliyah hungga memperoleh kebenaran yang nilainya pasti benar (wajib aqli)? Jika pertanyaan ini mampu dijawab oleh manusia, maka manusia akan mampu meraih pengetahuan tingkat IV, yaitu pengetahuan tentang hakikat asal-muasal dari manusia, alam semesta dan kehidupan di dunia ini dengan nilai kebenaran yang pasti.

Metode Aqliyah, sebagaimana telah dibahas di atas dapat digunakan untuk mencari kebenaran dari fakta-fakta yang bersifat ghaib, dengan syarat harus ada dalil-nya. Selanjutnya dari dalil yang diperoleh tersebut, akal manusia dapat memikirkan dengan akalnya untuk mencari kesimpulan yang nilainya pasti benar.

Sekarang, marilah kita mengumpulkan seluruh dalil yang mampu kita indera secara langsung. Dalilnya kembali kepada obyek yang hendak kita cari hakikatnya, yaitu keberadaan manusia, alam semesta dan kehidupan itu sendiri. Mengapa dalilnya hanya 3 obyek tersebut? Itulah kemampuan maksimal yang bisa dicapai oleh indera manusia untuk mendapatkan dalil. Manusia tidak mampu mengindera diluar ketiga obyek itu, seperti keberadaan surge, neraka, malaikat, jin, setan, hantu dsb. Selanjutnya, akal kita dapat bekerja untuk mengamati ketiga obyek dalil tersebut (An-Nabhani, 1953):


1. Manusia
Dalil pertama adalah manusia. Jika kita mengindera manusia, apa yang bersifat pasti dari manusia itu? Jika kita mau mengamati dengan seksama terhadap fakta manusia, maka akal kita dapat menyimpulkan bahwa seluruh manusia itu pasti bersifat terbatas. Apa maksudnya? Manusia pasti bersifat terbatas itu maknanya sangat luas. Terbatas bisa bermakna bahwa semua manusia itu ada awalnya dan ada akhirnya. Tidak ada manusia yang kekal, hidup terus, tidak berawal dan tidak pernah berakhir. Semua manusia pasti terlahir dan semua pasti mati. Itulah fakta yang mampu disimpulkan oleh akal manusia.

Terbatas juga bisa bermakna kehendaknya yang tidak mutlak. Manusia bisa mempunyai banyak keinginan, namun hanya sedikit yang bisa dia wujudkan. Kalau dia terlahir jadi manusia yang berkulit hitam, maka sangat sulit baginya untuk menjadi putih. Jika dia orang yang pendek, maka sangat sulit kalau ingin jadi orang yang tinggi dan seterusnya.

Manusia juga tidak mampu mengendalikan seluruh organ tubuhnya. Jantungnya terus berdetak dari sejak dalam kandungan, tanpa dia perintahkan. Namun, jika jantungnya berhenti, dia juga tidak mampu berbuat apa-apa. Manusia tidak mampu mengatur proses perjalanan makanan yang masuk dalam tubuhnya. Manusia tidak mampu mengontrol secara langsung proses-proses metebolisme yang berlangsung dalam dirinya, dsb.

Terbatas juga bisa bermakna tidak bisa berdiri sendiri. Manusia tidak bisa hidup sendiri. Manusia hidupnya sangat tergantung dengan makhluk lain, tergantung dengan benda yang lain, tergantung dengan unsur-unsur lain. Manusia hidupnya membutuhkan makanan, minuman, oksigen, mineral, vitamin dan sebagainya. Manusia juga membutuhkan manusia lain, makhluk lain, binatang, tumbuh-tumbuhan, dsb.

2. Alam Semesta
Dalil kedua, yaitu alam semesta. Jika kita mau mengamati seluruh isi alam semesta, maka kesimpulannya juga sama, yaitu pasti bersifat terbatas. Sebab, alam semesta itu merupakan kumpulan dari benda-benda angkasa yang semuanya bersifat terbatas. Terbatas itu juga bermakna luas.

Terbatas bisa dilihat dari bentuknya. Benda-benda angkasa itu terbatas, karena terbatasi oleh bentuknya masing-masing. Benda-benda angkasa yang berbentuk bulat, maka selamanya dia berbentuk bulat, mereka tidak pernah bisa berubah menjadi kubus dan mereka juga tidak mempunyai “keinginan” untuk merubah bentuk dirinya. Mereka juga terpaksa beredar dalam orbitnya masing-masing. Selama bermilyar-milyar tahun tetap seperti itu, tanpa bisa melawannya. Seluruh benda angkasa hanya bisa tunduk dan patuh pada ”sesuatu” yang mengatur dirinya.

Seluruh benda angkasa juga terpaksa berputar pada porosnya (berotasi) dengan arah perputaran yang berlawanan dengan arah jarum jam. Tidak ada yang bisa melawan arah perputaran tersebut, dengan arah yang berlawanan. Demikian uga ketika seluruh benda-benda angkasa itu bergerak (berevolusi) pada orbitnya, mereka terpaksa juga bergerak dengan arah yang sama, yaitu berlawanan dengan arah jarum jam.

Seluruh benda angkasa di jagad raya ini jika diamati dengan seksama ternyata semua pergerakannya adalah sama. Hal itu terjadi tidak hanya pada benda angkasa yang besar, bahkan mulai dari unsur-unsur penyusun benda yang paling kecil sekalipun, yaitu atom, ternyata ada gerakan yang sama. Di dalam atom ada gerakan electron mengelilingi proton dengan kecepatan yang sangat tinggi, dengan arah gerakan yang sama, yaitu berlawanan dengan arah jarum jam.

Sehingga, jika manusia mau mengamati terhadap keseluruhan pergerakan materi dan benda-benda angkasa yang jumlahnya sampai berbilyun-bilyun, semuanya bergerak dengan pola gerakan yang sama, sangat teratur dan dengan gerakan yang sangat harmonis. Tidak ada kekacauan, tidak ada kekisruhan, tidak ada perbenturan dan tidak ada yang melakukan perlawanan. Semuanya tunduk dan patuh, tanpa ada yang bisa mbalelo.

Dengan demikian, seluruh benda-benda angkasa itu dapat disimpulkan mempunyai sifat yang pasti, yaitu bersifat terbatas, bersifat teratur, saling membutuhkan, tidak bisa berdiri sendiri, kehendaknya bersifat tidak mutlak. Alam semesta semuanya tunduk pada “sesuatu” yang lain, Yang Maha Mutlak, Yang Maha Mengatur dsb, sebagaimana keadaan dan sifat yang ada dalam diri manusia.

3. Kehidupan
Dalil yang ketiga adalah kehidupan. Seluruh kehidupan yang ada di alam ini juga pasti bersifat terbatas. Semua kehidupan itu bersifat individual. Semua makhluk hidup itu ada awalnya dan ada akhirnya. Kehidupan itu juga berawal dan berakhir untuk dirinya sendiri. Tidak pernah ada kehidupan yang bisa lebih dari dirinya sendiri. Tidak ada makhluk hidup di alam ini yang bisa memberikan hidupnya untuk makhluk yang sudah mati atau untuk benda mati. Hidupnya hanya satu dan hanya untuk dirinya sendiri.

Dengan demikian, semua kehidupan yang ada di alam ini juga bersifat sebagaimana manusia dan alam semesta di atas yaitu pasti bersifat terbatas, lemah, membutuhkan yang lain, tidak bisa berdiri sendiri, kehendaknya bersifat tidak mutlak dsb. Itulah kesimpulan yang dapat dibuat oleh akal manusia dengan menggunakan metode aqliyah.

Jika manusia, alam semesta dan kehidupan ini pasti bersifat terbatas, maka apa kesimpulan yang bisa kita tarik? Kesimpulannya adalah: manusia, alam semesta dan kehidupan ini mustahil bersifat azali (tidak berawal dan tidak berakhir). Jika mereka mustahil azali, maka apa yang pasti? Kesimpulan yang pasti menurut akal manusia adalah: mereka pasti ada Penciptanya.

Itulah kesimpulan yang pasti benar menurut akal manusia, dengan menggunakan metode aqliyah. Kesimpulannya adalah: manusia, alam semesta dan kehidupan ini pasti ada Penciptanya. Selanjutnya, jika akal manusia ditanya lebih lanjut: siapa nama Pencipta itu? Maka, semua jawaban yang dibuat akal manusia nilainya adalah: mungkin benar, mungkin salah (jaiz aqli). Mengapa? Sebab, dalilnya hanya mengamati manusia, alam semesta dan kehidupan saja.

Jika manusia membutuhkan jawaban yang nilainya pasti benar, tentang siapa sesungguhnya nama dari Pencipta alam semesta ini, maka menurut metode aqliyah manusia itu masih memerlukan dalil tambahan. Jika tidak ada dalil tambahan, maka kesimpulan maksimal yang dapat dicapai akal manusia akan berhenti pada: pasti ada Penciptanya. Akal manusia tidak bisa mendapatkan jawaban yang lebih dari itu. Sebagaimana kesimpulan yang bisa kita ambil dari dalil telapak ban dan sebuah bangunan rumah, yang telah kita bahas sebelum ini.

Bagaimana manusia dapat memperoleh tambahan dalil dengan nilai yang pasti benar? Disinilah manusia membutuhkan pengetahuan yang lebih tinggi lagi, yaitu pengetahuan tingkat V. apa pengetahuan tingkat V itu? Jawabannya ada pada pembahasan sub-bab berikut ini.

Sumber:
Ekonomi Islam Madzhab HAMFARA

Baca Selengkapnya ....

PENGETAHUAN TINGKAT IV

Posted by Unknown Jumat, 19 Juli 2013 0 komentar
Setelah manusia memperoleh pengetahuan tingkat III, apakah manusia masih memerlukan pengetahuan yang lebih tinggi lagi, yaitu pengetahuan tingkat IV? Manusia tentu belum merasa cukup dengan pengetahuan tingkat III dan masih memerlukan lagi pengetahuan tingkat IV. Lantas apa yang dimaksud dengan pengetahuan tingkat IV itu?

Pengetahuan tingkat IV itu tidak hanya sekedar keinginan darri manusia untuk mengetahui berbagai fenomena alam maupun fenomena sosial yang dapat terindera secara langsung, yang ghaib, maupun segala proses rekayasa dari hasil pengetahuan tersebut. Tidak hanya sekedar itu.

Pengetahuan tingkat IV adalah keinginan dari manusia untuk mengetahui hakikat dibalik fenomena yang ada dari seluruh alam semesta ini. Dengan demikian, pengetahuan yang ingin diperoleh tidak hanya sekedar tingkat I, II dan III, tetapi ingin mengetahui hakikat dibalik dari semua pengetahuan tersebut, yaitu mulai dari pengetahuan tingkat I, II dan III. Manusia tentu menyimpan rasa keingintahuan yang tinggi terhadap misteri keberadaan alam semesta ini (Triono, 2010).

Jika pengetahuan tingkat IV ini disederhanakan, maka pengetahuan ini sesungguhnya ingin menjawab pertanyaan tentang hakikat dari alam semesta ini, termasuk manusia dan kehidupan ini, sebenarnya asal-muasalnya dari mana? Apakah alam semesta, manusia dan kehidupan ini ada yang menciptakan ataukah Pencipta itu tidak ada? Dengan kata lain, yang ada itu sebenarnya hanyalah materi dan materi itu bersifat kekal (azali), tidak berawal dan tidak akan berakhir, ataukah materi itu ada yang menciptakan?

Sekali lagi, jika hendak dirumuskan, maka hakikat (kebenaran) dari pengetahuan tingkat IV ini memang hanya 2 kemungkinan, yaitu:
1. Alam semesta, manusia dan kehidupan ini ada penciptanya, atau
2. Alam semesta, manusia dan kehidupan ini tidak ada Penciptanya.

Hakikat dari pengetahuan tingkat IV yang akan muncul dari seluruh akal manusia tentu tidak akan keluar dari 2 kemungkinan tersebut. Dengan kata lain, jawaban dari pertanyaan tentang misteri alam memang bersifat hitam-putih, tidak ada yang bersifat abu-abu. Sehingga tidak ada alternative jawaban yang ketiga.

Selanjutnya, apa konsekuensi dari masing-masing jawaban tersebut? Jika jawaban dari asal-muasal alam, manusia dan kehidupan ini ada Penciptanya. Jawaban tersebut tentu akan mnimbulkan pertanyaan turunan. Apa pertanyaan turunannya? Jika manusia, alam dan kehidupan ini ada Penciptanya, maka yang menjadi pertanyaan turunan adalah:
1. Apa sesungguhnya tujuan Pencipta menciptakan manusia, alam dan kehidupan di dunia ini?
2. Setelah Pencipta menciptakan kehidupan di dunia ini, apakah ada kehidupan lagi setelah khidupan di dunia ini?

Konsekuensi tersebut tentu sangat berbeda dibanding jika jawabannya adalah manusia, alam dan kehidupan ini tidak ada Penciptanya. Tentu tidak ada konsekuensi pertanyaan turunan apapun. Jika yag dipertanyakan: apa sesungguhnya tujuan hidup manusia di dunia ini? Jawabannya adalah: terserah masing-masing manusia. Manusia bebas menentukan tujuan hidupnya. Demikian juga mengenai kehidupan setelah dunia, tentu tidak ada. Sebab, kehidupan dunia ini adalah kekal, tidak ada awalnya dan tidak ada akhirnya.

Inilah yang disebut dengan pengetahuan tingkat IV. Lantas, bagaimana metode yang dapat digunakan manusia untuk bisa mencapai pengetahuan tingkat IV ini? Metode yang dimaksud tentu saja adalah metode yang bisa menghantarkan pada jawaban yang nilainya adalah: pasti benar. Pertanyaan yang lebih khusus lagi adalah: metode apa yang digunakan oleh para ilmuwan untuk mencapai kebenaran pengetahuan tingkat IV ini?

Jawabnya tentu sudah kita ketahui semua. Metode yang digunakan oleh para ilmuwan untuk memperoleh pengetahuan tingkat IV ini ternyata adalah tetap dengan menggunakan metode ilmiah-nya. Sehingga pengetahuan tingkat IV yang diperoleh para ilmuwan seluruhnya adalah sama. Manusia, alam dan kehidupan ini tidak ada Penciptanya. Yang ada hanyalah materi dan materi itu bersifat azali (tidak berawal dan tidak berakhir). Materi bersifat kekal, sedangkan Tuhan itu tidak ada.

Mengapa jawaban para ilmuwan bisa seperti itu? Untuk mengetahuinya sangatlah mudah. Penyebabnya hanya satu, yaitu sangat tergantung dengan metode yang digunakan untuk menjawabnya. Jika metode yang digunakan adalah metode ilmiah, maka selamanya Tuhan tetap tidak ada. Sebab, keberadaan Tuhan itu memang tidak akan bisa diuji dengan ekserimen ilmiah.

  Jika para ilmuwan hendak menguji asal-muasal dari alam (materi) ini dengan menggunakan eksperimen ilmiah atau diuji di dalam skala laboratorium, maka yang didapat oleh para ilmuwan adalah sama, yaitu materi tidak akan pernah bisa diciptakan dan dimusnahkan oleh manusia. Ketika manusia berusaha untuk menghancurkan suatu benda atau materi tertentu, dengan cara melumatnya, membakarnya, melelehkannya, menembaknya dengan sinar laser dsb. Tentu tidak akan pernah bisa. Materi tidak akan bisa hilang atau berkurang jumlah massanya. Yang terjadi hanyalah perubahan wujudnya saja, yaitu berubah dari bentuk padat, menjadi cair, kemudian menjadi gas dan seterusnya (Athiyat, 1988).

Demikian juga ketika manusia berupaya untuk menambahkan jumlah materi yang ada di alam ini, sekecil apapun jumlah massa yang ingin ditambahkan, maka selamanya manusia tidak akan berhasil menambahkannya. Apa kesimpulan dari semua eksperimen ini? Akhirnya para ilmuwan berhasil merumuskan hukum bagi materi dan energi yang ada di alam semesta ini, yang dikenal dengan Hukum Kekekalan Materi dan Energi.

Bagaimana bunyi hukum tersebut? Hukum kekekalan materi dan energi isinya adalah: “materi dan energi itu tidak dapat diciptakan dan juga tidak dapat dimusnahkan”. Apa maknanya? Maknanya adalah: Pencipta itu tidak ada dan Hari Kiamat itu juga tidak ada. Yang ada hanyalah materi dan materi itu kekal (azali). Itulah hukum kekekalan materi dan energi produk dari para ilmuwan.

Apakah “eksperimen ilmiah” yang dilakukan para ilmuwan hanya berhenti dalam skala laboratorium? Tentu saja tidak. Mereka terus beupaya untuk mencari “bukti-bukti ilmiah” untuk menjawab hakikat asal-muasal manusia, alam dan kehidupan ini. Charles Darwin adalah salah seorang ilmuwan yang sangat bersemangat untuk menjawab misteri kehidupan ini.

Charles Darwin berupaya untuk mengumpulkan berbagai fosil yang dia gali dari beberapa lapisan permukaan bumi. Salah satu fosil yang cukup lengkap dia peroleh adalah fosil kuda. Kebetulan dia menemukan fosil kuda dari beberapa lapis bumi yang bentuknya berbeda-beda. Dari lapis yang terdalam, dia menemukan bentuk kaki kuda yang masih memiliki lima jari-jemari seperti tangan manusia. Kemudian pada lapis di atasnya, jari-jari tersebut berkurang (ada yang memendek). Lapis di atasnya terus berubah, sehingga lapis yang paling atas adalah bentuk kaki kuda sebagaimana yang kita lihat sekarang ini.

Apa kesimpulannya? Charles Darwin menyimpulkan bahwa kuda tersebut telah mengalami proses evolusi dalam masa yang sangat panjang. Mungkin samapi beribu-ribu tahun proses evolusinya. Selanjutnya, apa yang akan dikatakan oleh Darwin berkenaan dengan temuan “ilmiah”nya ini?

Charles Darwin kemudian menarik kesimpulan secara general bahwa seluruh makhluk hidup yang ada di bumi ini mengalami proses evolusi dari bentuk yang paling sederhana, yaitu dari makhluk bersel satu, sampai menjadi bentuk kehidupan yang sangat maju seperti sekarang ini. Hal itu juga terjadi pada manusia. Manusia hanyalah salah satu produk dari proses evolusi tersebut. Salah satu bagian dari rantai evolusi dari manusia adalah berasal dari hewan primate, kemudian menjadi kera, selanjutnya berjalan tegak (phitecantrophus erectus), kemudian menjadi “hewan” yang bisa berfikir (homo sapiens) dan terakhir menjadi manusia berfikir cerdas (homo sapien sapiens) seperti sekarang ini.

Apa konsekuensi dari produk teori Darwin ini? Tentu saja “keyakinan” tentang penciptaan manusia yang berasal dari Tuhan akan tertolak semua. Keyakinan agama yang selama ini menyatakan bahwa asal-muasal dari manusia itu adalah dari manusia yang satu, yaitu Nabi Adam AS akan gugur dengan sendirinya.

Selanjutnya, bagaimana dengan penjelasan dari ilmuwan tentang hakikat “kejadian” alam semesta ini? Untuk menjawab tentang teori “kejadian” alam semesta ini, teori yang dianggap paling kuat dan paling banyak diterima “kebenarannya” di kalangan ilmuwan adalah teori “Big Bang”  (teori ledakan besar).

Menurut teori ini, proses kejadian alam semesta itu berasal dari sebuah kabut (debu) yang ada di alam semesta ini. Kemudian, tiba-tiba kabut ini berputar dan berputar dengan kecepatan yang sangat tinggi. Karena perputarannya semakin meninggi, akhirnya menimbulkan ledakan yang sangat besar. Hasil dari ledakan itu, melahirkan bermilyar-milyar benda angkasa yang terus berputar menjauhi titik pusat ledakan.

Benda-benda angkasa yang terus berputar itu lama-kelamaan ada yang memadat dan membeku, namun masih ada juga yang berwujud bola-bola api yang sangat besar. Benda-benda angkasa yang memadat itu kemudian dikenal dengan planet-planet, sedangkan yang masih berwujud api disebut bintang. Salah satu planet tesebut adalah bumi, sedangkan salah satu contoh bintangnya adalah matahari.

Bagaimana pengujian ilmiah yang dilakukan para ilmuwan untuk “membenarkan” teorinya ini? Salah satu pengujian ilmiah yang mereka lakukan adalah dengan mengamati pergerakan bintang yang ada di alam semesta ini. Menurut pengamatan mereka, gugusan bintang yang ada di alam semesta ini terus-menerus mengalami pergerakan yang semakin menjauh dari sumbu utamanya, yaitu titik hitam (black hole). Fakta-fakta itu dijadikan bukti bahwa pergerakan yang semakin menjauh dari titik pusat ini, walaupun sangat lambat, merupakan bukti dari sisa-sisa energy yang berasal dari ledakan besar tempo doeloe itu.

Itulah penjelasan dari ilmuwan tentang proses kejadian alam semesta ini. Sekali lagi, apa kesimpulan penting dari teori Big Bang ini? Kesimpulannya sama seperti sebelumnya, bahwa peran Tuhan itu tidak ada. Semuanya terjadi sesuai dengan “Hukum Alam” itu sendiri. Materi-materi yang ada di alam ini semuanya telah berjalan mengikuti “kehendak” dari hukum alam yang bersifat tetap.

Sampai di sini, apa kesimpulan yang dapat kita tarik? Kesimpulannya tidak lain adalah hilangnya posisi dan peran agama dalam semua kancah ilmu pengetahuan, baik dalam ilmu fisika, kimia, biologi, matematika, psikologi, ekonomi, sosiologi, antropologi dsb. Semuanya telah bersih dari “dogma-dogma” agama, yang “tidak bisa” dibuktikan secara ilmiah, yaitu dengan menggunakan metode ilmiah.

Sumber:
Ekonomi Islam Madzhab HAMFARA

Baca Selengkapnya ....

PENGETAHUAN TINGKAT III

Posted by Unknown Kamis, 18 Juli 2013 0 komentar
Setelah manusia memperoleh pengetahuan tingkat II, manusia tentu tidak akan berhenti sampai di sini. Pengetahuan apa yang diperoleh manusia selanjutnya? Pengetahuan yang ingin diperoleh manusia adalah pengetahuan tentang pemanfaatan ilmu-ilmu murni yang telah mereka dapatkan dari pengetahuan tingkat II.

Jika manusia sudah mempunyai banyak ilmu pengetahuan tentang unsur-unsur kimia yang murni, unsur-unsur mineral, logam, struktur atom, struktur kromosom, inti sel dsb, maka yang menjadi pertanyaan adalah: akan digunakan untuk apa semua ilmu pengetahuan tersebut?

Nah, disinilah manusia akan tertantang untuk ingin mendapat pengetahuan lebih lanjut. Dengan menggunakan metode ilmiah seperti di atas, maka manusia dapat melakukan berbagai uji coba dari berbagai temuan unsur-unsur murni tersebut. Dalam skala laboratorium, ilmuwan dapat melakukan berbagai percobaan ilmiah. Cara yang digunakan misalnya dengan cara menggabungkan, merangkaikan, melebur, mencampur, mensuspensikan, mereaksikan berbagai unsur-unsur murni tersebut. Apa pengeahuan baru yang dapat diperoleh?

Inilah tingkatan pengetahuan yang lebih tinggi yang akan didapat oleh manusia, yaitu pengetahuan tingkat III. Apa yang membedakan dengan pengetahuan tingkat II di atas? Pengetahuan tingkat III ini diperoleh manusia dengan cara melakukan proses rekayasa (engineering) terhadap temuan-temuan murni yang berasal dari pengetahuan tingkat II di atas. Tujuannya tentu agar manusia bisa mendapatkan produk-produk yang memiliki nilai guna yang lebih tinggi bagi manusia (Triono, 2010).

Ilmu pengetahuan yang diperoleh dalam tingkatan III ini dapat digolongkan ke dalam kelompok ilmu-ilmu terapan (applied sciences). Contohnya adalah: teknik mesin, teknik elektro, teknik kimia, kedokteran, pertanian, peternakan, dsb. Semua ilmu pengetahuan ini masuk dalam kategori rumpun ilmu pengetahuan alam.

Nah, bagaimana dalam khasanah ilmu-ilmu sosial? Dalam perkembangannya, rumpun ilmu-ilmu sosial juga tidak mau kalah dengan rumpun ilmu alam. Dengan menggunakan metode ilmiah juga, ilmuwan sosial dapat melakukan “rekayasa” terhadap berbagai model matematika yang telah diperoleh dari fenomena sosial yang masih asli. Hasilnya akan digunakan untuk kepentingan peramalan maupun pengambilan kebijakan untuk kepentingan pengaturan permasalahan sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan.

Apa nama ilmu pengetahuan sosial yang diperoleh dari pengetahuan tingkat III ini? Adalah khasanah ilmu-ilmu sosial, ternyata antara ilmu murni dan ilmu terapan tidak ada pemisahan yang jelas. Biasanya, antar keduanya masih tercampur dan tidak dapat dipilahkan dengan jelas. Misalnya, dalam ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu psikologi, ilmu sosiologi dsb, di dalamnya masih tercampur antara ilmu yang murni dan terapan.

Sumber:
Ekonomi Islam Madzhab HAMFARA


Baca Selengkapnya ....

PENGETAHUAN TINGKAT II

Posted by Unknown 0 komentar
Apakah manusia cukup denga pengetahuan tingkat I? Jawabnya tentu tidak cukup. Manusia selain ingin mengetahui kebenaran-kebenaran yang langsung dapat diindera, dia juga ingin mengetahui obyek-obyek yang tidak dapat terindera secara langsung (obyek yang ghaib). Nah, obyek-obyek yang ghaib tersebut itu meliputi apa saja? Obyek yang ghaib ada 3, yaitu (An-Nabhani 1973):
1. Sesuatu yang tersembunyi.
2. Sesuatu yang terjadi di masa lampau.
3. Sesuatu kejadian di masa yang akan datang.

Bagaimana manusia bisa memperoleh pengetahuan tentang obyek-obyek yang ghaib tersebut? Untuk memperoleh pengetahuan tingkat II, ternyata syaratnya lebih mudah dibanding dengan pengetahuan tingkat I. Jika untuk memperoleh pengetahuan tingkat I syaratnya ada 4, maka untuk pengetahuan tingkat II ini syaratnya hanya satu, yaitu: Harus ada dalil yang terindera secara langsung. Itu saja.

Apa makna dalil itu? Dalil artinya penunjuk. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pengetahuan tingkat II ini manusia harus mempunyai dalil terlebih dahulu. Dalil itu harus terindera secara langsung. Dengan kata lain, dalil tersebut harus merupakan kebenaran yang diperoleh dari pengetahuan tingkat I (kebenaran langsung).

Apa contohnya? Kita dapat mulai dari obyek ghaib yang pertama, yaitu sesuatu yang tersembunyi. Bagaimana manusia dapat memperoleh pengetahuan dari obyek yang tersembunyi? Kita bisa mulai dari contoh yang sederhana. Misalnya kita melihat kamar yang tertutup dan terkunci. Kita ingin mengetahui, di dalam kamar tersebut isinya apa? Jika kita hanya menduga-duga, kemungkinan besar di dalamnya ada seekor kuda ( misalnya), maka proses itu tidak dapat dikatakan sebagai aktifitas berfikir.

Untuk dapat dikatakan sebagai proses berfikir, maka manusia harus mendapatkan dalil terlebih dahulu. Misalnya kita mendengar suara “ringkikan kuda” dari dalam kamar. Suara ringkikan kuda ini adalah sesuatu yang dapat terindera secara langsung (indera pendengaran). Inilah yang disebut dalil. Dengan adanya dalil ini, maka kita dapat menyimpulkan bahwa di dalam kamar tersebut ada kudanya.

Selain ingin mengetahui sesuatu yang tersembunyi, manusia juga ingin mengetahui sesuatu yang sudah lampau. Apa contohnya? Misalnya kita ingin mengetahui, apakah tadi malam ada mobil yang telah memasuki halaman rumah kita atau tidak? Untuk dapat megetahuinya, kita dapat mencari dalil. Jika kita menemukan dalil, misalnya adanya telapak ban mobil yang terindera secara langsung (indera penglihatan), maka kita dapat mengetahui bahwa tadi malam ada mobil yang telah masuk ke halaman rumah kita.

Bagaimana dengan obyek yang akan datang? Prosesnya sama. Misalnya, jika kita ingin mengetahui apakah nanti akan hujan atau tidak? Untuk mengetahuinya, kita harus mencari dalil. Dalilnya adalah dengan melihat mendung yang ada di atas kita. Jika kita dapat mengindera secara langsung, adanya mendung hitam yang telah menggelantung di atas kita, maka itu dapat kita jadikan dalil, bahwa sebentar lagi tentu akan turun hujan. Oleh karena itu jika kita hendak pergi, maka kita harus sedia payung sebelum hujan.

Demikian seterusnya. Manusia tentu ingin mengetahui hal-hal yang tersembunyi, yang lampau, yang akan datang, dengan berbagai obyek yang glebih kompleks lagi. Misalnya manusia ingin tahu, di dalam gunung itu terkandung bahan mineral apa saja? Di dalam lautan itu terkandung minyak atau tidak? Pendiri Kerajaan Inggris itu siapa? Revolusi Perancis itu terjadi karena apa? Gunung Merapi itu akan meletus atau tidak? Dan sebagainya. Prosesnya tetap sama, yaitu manusia memerlukan dalil yang dapat diindera secara langsung.

Itulah proses manusia dalam memperoleh kebenaran tidak langsung atau pengetahuan tingkat II. Nah, setelah manusia dapat memperoleh pengetahuan tersebut, selanjutnya bagaimana dengan nilai kebenaran dari pengetahuan tingkat II yang telah didapat tersebut? Jika nilai kebenaran pengetahuan tingkat I itu hanya satu, yaitu pasti benar, maka untuk nilai kebenaran dari pengetahuan tingkat II ini ada 3 kemungkinan nilai, yaitu:
1. Pasti benar (wajib aqli)
2. Mungkin benar (jaiz aqli)
3. Pasti salah (mustahil aqli)

Apa contohnya? Kembali pada contoh di atas, yaitu ketika manusia ingin mengetahui sesuatu yang tersembunyi. Apa isi dari kamar yang terkunci? Dalilnya adalah ringkikan kuda. Jika kita mendengar sura ringkikan kuda, apakah di dalam kamar itu pasti benar ada kudanya? Jawabannya adalah: mungkin benar (jaiz aqli). Mengapa? Sebab, masih ada kemunginan yang lain. Kemungkinannya adalah: suara kuda, rekaman tape recorder, suara manusia yang mirip kuda, dsb. Oleh karena itu, akal manusia tidak bisa dipaksa untuk mengatakan: pasti ada kuda di dalam kamar tersebut.

Demikian juga terhadap contoh yang kedua, untuk kejadian yang sudah lampau. Apakah tadi malam ada mobil yang masuk ke halaman rumah kita atau tidak? Dalilnya adalah telapak ban. Jika kita melihat dalil telapak ban, kemudian kita menyimpulkan: tadi malam ada mobil yang masuk ke halaman rumah kita. Bagaimana nilai kebenaran dari kesimpulan tersebut? Jawabannya adalah: mungkin benar (jaiz aqli). Mengapa? Sebab, menurut akal kita, masih ada beberapa kemungkinan, seperti: ada mobil yang lewat, kemungkinan gerobag yang lewat atau kemungkinan ban saja yang lewat, dsb.

Untuk contoh ketiga juga sama, dalil mendung juga tidak bisa untuk memastikan akan terjadinya hujan. Sebab, jika kita melihat mendung, kemungkinan menurut akal adalah, akan terjadi hujan, kemungkinan juga tidak terjadi hujan. Kita tidak bisa memastikan, jika kita melihat mendung, pasti akan terjadinya hujan.

Jika melihat dari contoh-contoh pengetahuan tingkat II tersebut, sepertinya tidak ada yang bisa mengantarkan pada kebenaran yang pasti. Apakah berarti manusia tidak bisa mendapatkan kebenaran yang pasti dari masalah-masalah yang ghaib? Jawabannya: masih bisa! Manusia masih bisa memperoleh kebenaran yang pasti dari pengetahuan tingkat II ini. Apa contohnya?

Contohnya, jika manusia melihat dalil telapak ban tadi, apa yang bisa dipastikan dari dalil ini? Jawabnya adalah: pasti ada yang membekasi! Itu jawaban yang pasti benar. Tidak ada satupun akal manusia yang bisa menolak kebenaran tersebut. Bagaimana jika kita ditanya lebi lanjut? Benda apakah yang telah membekasinya? Apakah mobil? Apakah gerobag? Ataukah hanya ban saja.

Jika pertanyaannya ditambahi lagi, maka semua jawaban akan bernilai: mungkin benar (jaiz aqli). Mengapa? Sebab, dalilnya hanya telapak ban, maka manusia tidak dapat menambah kesimpulan lain selain jawaban tadi, yang nilainya dapat dikategorikan sebagai kesimpulan yang pasti benar.

Apa contoh yang lain? Jika kita melihat sebuah bangunan rumah, kemudian kita jadikan sebagai suatu dalil. Apa kesimpulan yang bisa kita buat dari dalil tersebut, yang nilainya masuk kategori pasti benar? Jawabnya adalah: rumah tersebut pasti ada yang membangunnya. Itulah jawaban yang nilainya pasti benar. Bagaimana jika pertanyaan dilanjutkan: siapa nama orang yang membangun rumah tersebut? Apakah Pak Sholh? Pak Selamet? Pak Subhan?

Jika pertanyaannya ditambahi lagi, maka semua jawaban akan bernilai: mungkin benar (jaiz aqli). Mengapa? Sebab, dalilnya hanya bangunan rumah, tidak ada dalil tambahan lagi. Jika dalilnya hanya bangunan rumah, maka manusia tidak dapat menambah kesimpulan lain selain jawaban tadi, yang nilainya dapat dikategorikan sebagai kesimpulann yang pasti benar.

Dengan demikian, sesungguhnya manusia masih dapat memperoleh kebenaran yang pasti untuk masalah yang ghaib, dengan metode berfikir seperti ini. Metode berfikir seperti ini, selanjutnya dapat kita namakan dengan metode: metode aqliyah. Baik untuk pengetahuan tingkat I, maupun pengetahuan tingkat II sebagaimana yang telah dijelaskan secara panjang lebar seperti di atas.

Dalam perkembangannya, untuk memeroleh berbagai pengetahuan tingkat II, manusia kemudian melakukan upaya-upaya lebih lanjut. Proses pengkajian dalilnya tidak sesederhana sebagaimana yang kita contohkan tadi. Untuk mengkai dalil tersebut, ternyata telah dilakukan suatu proses yang lebih rumit, yang dikenal dengan istilah riset atau penelitian dengan menggunakan suatu metodologi tertentu.

Metodologi untuk memperoleh ilmu dalam tingkatan II inilah, yang kemudian dikenal dengan sebutan metode ilmiah atau ada yang menyebut dengan istilah metode eksperimental. Apa yang membedakan antara metode ilmiah dengan metode aqliyah seperti di atas? Sesungguhnya metode ilmiah ini masih masuk dalam cabang dari metode aqliyah. Dalam metode ilmiah ini masih ada tambahan tahapan perlakuan dari metode aqliyah sebelumnya, yaitu pengujian ilmiah.

Pengujian ilmiah adalah sebuah proses uji coba terhadap suatu obyek tertentu yang masih alami untuk diuji dalam skala laboratorium, dengan cara melakukan penelitian (komparasi) dengan menggunakan standar obyek tertentu yang lain yang masih murni. Bagaimana penjelasannya?

Misalnya kita mengambil air dari sumber yang masih alami dari sebuah pegunungan. Kita ingin mengetahui, apakah air tersebut mengandung kapur (CaCO3) atau tidak ? dengan hanya menggunakan indera kita secara langsung, misalnya dengan mata telanjang atau dengan menggunakna lidah kita, kita tidak akan bisa mengetahui, apakah air tersebut mengandung kapur atau tidak?

Untuk mengetahuinya, kita harus melakukan proses pengujian. Untuk dapat menguji air tersebut, apakah mengandung kapur atau tidak, maka kita harus mempunyai bahan kapur (CaCo3) yang murni. Dengan menggunakan alat tertentu dalam laboratotium, bahan kapur murni tersebut dapat diuji terlebih dahulu untuk dilihat pola grafiknya. Setelah itu, air pegunungan tersebut dapat diuji dengan menggunakan alat yang sama.

Jika dari air pegunungan yang diuji tersut muncul banyak pola grafik dan salah satunya ada pola grafik yang sama dengan pola grafik dari bahan kapur yang murni tersebut, maka kita dapat menyimpulkan bahwa air pegunungan tersebut mengandung kapur. Inilah yang disebut proses pengujian ilmiah dengan menggunakan metode ilmiah.

Metode ilmiah ini memang metode yang dapat diandalkan oleh manusia untuk mengetahui berbagai rahasia alam. Namun sayangnya, dalam perkembangan berikutnya, metode ilmiah ini kemudian dijadikan sebagai satu-satunya metode yang digunakan oleh para ilmuwan untuk memperoleh kebenaran. Sedangkan metode aqliyah sebagai induknya sudah ditinggalkan, bahkan ada yang menganggap bukan sebagai sebuah metode yang ilmiah lagi.

Apa akibatnya? Akhirnya metode ilmiah ini tidak hanya digunakan untuk meneliti obyek-obyek alam saja (yang bisa diteliti dalam skala laboratorium), namun juga untuk meneliti obyek-obyek sosial kemanusiaan dan sosial kemasyarakatan. Bagaimana metode ilmiah (metode eksperimental) bisa masuk dalam ranah obyek sosial? Inilah hal yang menarik untuk diperhatikan.

Ternyata ilmuwan di bidang sosial tidak mau kalah dengan ilmuwan bidang kealaman. Mereka juga berlomba-lomba untuk mengembangkan metodologi ilmiah di bidang sosial. Bagaimana fenomena sosial kemanusiaan dan sosial kemasyarakatan dapat diuji dalam skala laboratorium?

Jawabnya tentu tidak dengan pengujian skala laboratorium, sebagaimana dalam ilmu alam. Ilmuwan sosial akhirnya dapat mengembangkan “pengujian laboratorium” menurut anggapan mereka. Dengan menggunakan apa? Pengujian laboratoriumnya adalah dengan membuatkan sebuah “model” tertentu, yang banyak dibantu oleh logika-logika matematika. Sehingga sering dikenal dengan “model matematika”-nya.

Semua fenomena sosial dapat dibuatkan model matematikanya sebagai bentuk miniatur dari fakta aslinya, sebagaimana skala laboratorium yang berfungsi sebagai miniatur dari fenomena alam. Jika fenomena sosial dapat dibuatkan model matematikanya, maka pengujian ilmiah-pun dapat dilakukan terhadap model ini, sebagaimana pengujian ilmiah dalam ilmu alam. Selanjutnya, pengetahuan yang telah diperoleh dengan metode ilmiah ini dikenal dengan istilah ilmu pengetahuan sosial.

Berbagai ilmu pengetahuan yang diperoleh dari metode ilmiah ini kemudian digolongkan dalam kelompok ilmu-ilmu murni (pure sciences). Misalnya adalah: ilmu kimia, ilmu biologi, ilmu fisika, matematika dsb, yang masuk dalam kategori rumpun ilmu pengetahuan alam. Sedangkan yang masuk dalam rumpun ilmu-ilmu sosial misalnya adalah sosiologi, psikologi, ilmu ekonomi, ilmu politik dsb.

Sumber:
Ekonomi Islam Madzhab HAMFARA

Baca Selengkapnya ....
trikmudahseo.blogspot.com support www.evafashionstore.com - Original design by Bamz | Copyright of aVathuroba.